Entah apa yang terjadi, tapi klub idola saya yang pertama adalah AC Milan. Sebuah klub besar dari negri pemilik paten pertahanan gerendel ‘catenacio’. Saat itu akhir th 90-an Serie-A adalah liga terbaik di dunia, seluruh pemain terbaik dari berbagai daratan berlomba-lomba ‘mentas’ disana.
Saya mengenal AC Milan dari teman-teman saya yang lebih dewasa, ketika mereka bercerita tentang lugas dan tegasnya Maldini mengawal lini pertahanan, tentang betapa hebatnya heading seorang Oliver Bierhoff, bahkan kala itu ada anekdot yang mengatakan bahwa ia bisa mencetak gol dengan kepalanya meskipun bolanya berada ditanah. Saat itu nama-nama seperti Zvonimir Boban, George Weah dll begitu menghipnotis dan ‘memaksa’ saya menjadi seorang Milanisti tanpa alasan. Terlebih ketika Andriy Shevchenko mendarat di San Siro Milan untuk menuliskan kisahnya sendiri dengan pena yang ia pilih sendiri, menjadi peman terbaik dunia. Saat itu Hingga kini saya masih tetap menjadi Milanisti.
Saya juga mengidolakan klub pelabuhan asal Inggris; Liverpool, alasannya adalah Michael Owen, anak ajaib yang menciptakan gol ajaib ke gawang Argentina pada World Cup prancis 98. Owen membuat saya mendua dan ‘memaksa’ saya menyaksikannya bermain untuk seragam merah Liverpool, sampai saat ini saya juga tetap mengidolakan Liverpool meskipun Owen kini bermain untuk klub lain dan musim ini adalah musim terakhirnya bermain.
AC Milan dan Liverpool adalah magnet ketika saya berbicara tentang sepakbola, tapi jika anda bertanya apakah saya fans sejati mereka ? mungkin jawabannya tidak. Karna terkadang saya juga kerap melewatkan pertandingan mereka meskipun mereka bermain sore hari, saya juga tak begitu banyak tahu tentang sejarah mereka, saya mencintai klub tersebut dengan cara saya, dengan tidak terlalu berlebihan.
Saat ada teman yang mendebatkan kehebatan mereka, saya hanya menjawab seperlunya saja. Bukan karna tak bangga tapi karna tak ada gunanya. Berdebat sampai menggunakan emosi atau bahkan menggunakan kata-kata yg tak pantas hanya akan membuat semuanya bias. Fanatisme berlebihan hanya akan membuang kita ke tempat bodoh yang sangat jauh dari sepakbola, hal dasar yang membuat kita menjadi seorang fans sebuah klub. Sangat absurd rasanya jika mencaci klub/fans rival hanya untuk sebuah kepuasan pribadi.
Saya memang pernah (mungkin sering) menertawakan teman yg klub idolanya kalah (entah oleh klub apa saja), tapi hanya untuk sekedar bercandaan biasa, bukan untuk menanam benih kebencian dan menjadi simbol kekuatan.
Nikmatilah sepakbola dengan cara yang sederhana, berteriak gembira ketika mereka menang dan tertuduk layu jika mereka kalah. Berdebat secara membabi buta hanya akan membuat kita terlihat bodoh. Karna sesungguhnya kita menjadi lawan hanya pada saat pertandingan, sesudah itu kita adalah teman.







