"Football is
a simple game. Twenty-two men chase a ball for 90 minutes and at the end, the
Germans always win."
-
- Gary Lineker -.
Itu adalah
quote yg sangat terkenal tentang sepakbola Jerman dari Gary Lineker. Jika
menilik pada hasil partai final piala dunia 2014 di Rio De Janeiro semalam
kalimat tersebut tidak sepenuhnya benar, karna Jerman memenangkan pertandingan
pada 120 menit. Namun hasilnya tetap sama, Jerman yg keluar sebagai pemenang.
Sepakbola
Jerman dalam beberapa tahun terakhir memang mengalami peningkatan yang sangat
pesat dari segi kualitas. Liga mereka mungkin belum se-menarik BPL ataupun La
Liga, namun Liga mereka adalah Liga ‘paling ramah’ terhadap bakat lokal.
Setelah gagal
total pada Euro 2000 (Jerman gugur di fase grup), sepakbola jerman berbenah.
DFB (PSSI-nya Jerman) memerintahkan untuk mengembangkan akademi sepakbola di
seluruh penjuru jerman. Meningkatkan mutu dan kualitas kurikulum dalam akademi
tersebut. Sejak saat itu banyak bakat – bakat muda jerman yg bermunculan.
Kualitas merekas sebagai pemain sepakbola jauh melampaui usia mereka saat itu.
Nama yang
kita kenal sekarang macam Thomas Mueller, Toni Kroos, Mesut Ozil, Marco Reus
hingga Mario ‘golden goal’ Goetze adalah hasil dari peraturan tersebut. Harus
diakui bahwa Jerman berhasil mengembangkan bakat – bakat muda mereka, yang kini
menjadi tulang punggung skuad Die Mannschaft. Mereka memiliki kedalaman skuad
yang cukup baik diantara seluruh kontestan WC 2014 Brazil. Di saat pelatih
lawan mulai kebingungan dalam memilih pemain yang akan di masukkan untuk
mengganti starting XI, Joachim Loew tinggal menoleh ke bench pemain dan
memerintahkan anak asuhnya untuk suit untuk menentukan siapa yg akan masuk.
Karena memang kualitas antara pemain utama dan cadangan tidak jauh berbeda.
Jerman memang harus menunggu 24 tahun sejak
Lothar Matthaus terakhir kali mengangkat piala dunia pada gelaran WC 1990 di
Italia, namun tanda – tanda mereka akan segera juara sudah terlihat sejak 12
tahun lalu, 2 tahun sesudah mereka gagal total di Euro 2000. Pada WC Korea –
Jepang 2002 mereka berhasil masuk ke partai final, namun memang mereka kalah
dari Brazil yang memiliki trio maut Ronaldo – Rivaldo – Ronaldinho. Empat tahun
berselang Jerman menjadi tuan rumah WC namun lagi – lagi mereka kurang
beruntung karna kalah di Semi-Final dari Italia yang akhirnya keluar menjadi
juara. Pada Piala Dunia yg untuk pertama kalinya digelar di benua Afrika Jerman
kembali kurang beruntung karna kembali kalah di Semi-Final dari Spanyol yg
keluar sebagai Juara.
Namun pada
gelaran Piala Dunia di Brazil, bakat – bakat muda Jerman seolah menemukan arena
bermainnya sendiri. Skuad Die Mannschaft tampil luar biasa sejak awal, mereka bukan lagi
mesin diesel yang lambat panas. Mesin – mesin muda hasil dari pengembangan
akademi sepakbola lokal membuat skuad asuhan Joachim Loew tampil trengginas
sejak awal turnamen digelar, hingga akhirnya mereka menahbiskan diri menjadi
negara eropa pertama yang juara di tanah Amerika.
Apa yang
ditunjukkan oleh Jerman (dan DFB) seharusnya menjadi contoh oleh seluruh negara
yang memiliki Timnas Sepakbola termasuk Indonesia. Untuk sebuah kemenangan
membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang panjang. Mengutamakan pengembangan
bibit lokal, menciptakan iklim sepakbola yg menguntungkan bagi generasi muda,
membangun skuad sepakbola sebagai tim, bukan dari skill individu 1-2 bintang.
Saya rasa Jerman akan cukup lama menikmati hasil dari kerja keras mereka mengembangkan para pemain mudanya. Sekedar informasi, Mario 'Golden Goal' Goetze baru berumur 22 tahun.
Seperti yang
diucapkan oleh Gary Lineker
“Football is
a simple game. Twenty-two men chase a ball for 90 minutes and at the end, the
Germans always win.”
Selamat
Jerman, untuk bintang ke-empat di Jersey-nya
Viva La
Deutsch.....
nb : PSSI saya sarankan untuk meminjam
buku kurikulum pengembangan akademi sepakbola jerman lalu di copy yang banyak
dan dibagikan keseluruh sekolah sepakbola yang ada diseluruh negeri








0 komentar:
Posting Komentar