Senja ini, kembali kulabuhkan rinduku pada bayanganmu.
Kutambatkan seluruh anganku bersama dengan kembalinya mentari ke peraduan.
Aku kembali menyusuri jejak senyummu yang tertinggal siang
itu, senyum terakhir yang kau berikan padaku sesaat setelah aku memberikan
sebuah pena untuk kau tuliskan namamu disehelai baju.
Saat itu adalah masa dimana semuanya berhenti bekerja
sebagaimana mestinya, aku dengan kaku menawarkan pena itu dan kau dengan senyum
indahmu menerimanya dengan penuh suka. Ahh.. tak dapat lagi ku bohongi bahwa
kaulah lakon utama dari segala peristiwa yang pernah dipentaskan cinta, alasan mengapa
para pujangga tak bisa menuliskannya dalam manuskrip – manuskrip terbaik yang
pernah ada.
Tahukah kau bahwa penggalan takdir di lorong itu menjadi
kepingan kecil yang selalu ku genggam kemanapun ku rebahkan ragaku ?.
Kini, setelah ribuan hari yang telah terlewati semenjak
senyum terakhir mu itu, aku masih mampu menceritakan dengan baik lengkung
senyum bibirmu, ayun indah tanganmu saat meraih pena itu, tak sepenggal pun ku
lupa.
Aku masih tetap menyesali mengapa saat itu aku tak berkata
sepatah bahasa pun padamu, meskipun itu hanya terima kasih. Entah mengapa saat
itu semuanya menjadi serba rumit untuk dimengerti persis seperti hujan di bulan
juli.
Seandainya rindu bisa dibahasakan dengan sangat sederhana,
mungkin aku tak ‘kan tertatih menggendong bejana rindu ini kemanapun ku pergi.
Dan disini, saat ini sebelum kemerahan senja memudar dan
menghitam, ijinkan ku sampaikan padamu sebuah kebohongan yang paling dicari
oleh manusia yaitu kerinduan.
Aku sungguh merindu
padamu, Kaulah mula dan muara serta sebab dari segala cinta yang ada.






