Belakangan ini banyak pemberitaan mengenai
di-sahkan-nya RUU Pilkada menjadi Undang – Undang pada sidang paripurna DPR.
Terjadi pro dan kontra di tengah-tengah masyarakat tentang RUU Pilkada ini,
karena jika disahkannya RUU ini menjadi undang-undang akan merebut hak
masyarakat untuk ikut menentukan siapa pemimpin mereka. Banyak yang menilai
bahwa di-sahkan-nya RUU tersebut adalah kemunduran dalam kehidupan berdemokrasi
di republik ini, yang mana selama 10 tahun terakhir sistem pemilihan langsung
menjadi sistem yang digunakan untuk menentukan pimpinan di suatu daerah baik
kabupaten/kota atau provinsi (kecuali kotamadya Jakarta dan Provinsi DIY).
Pengembalian sistem pemilihan kepala daerah dari dipilih secara langsung oleh
masyarakat menjadi kembali dipilih oleh DPRD memang adalah sebuah tragedi dalam
kehidupan berdemokrasi. Kesempatan masyarakat untuk mengetahui track record calon pemimpin di daerahnya
menjadi berkurang atau bahkan hilang, masyarakat harus menerima siapapun
pimpinannya, jika diibaratkan dalam pernikahan, masyarakat harus menerima
siapapun calon mempelainya meskipun ia tak sama sekali mengenal dan
mencintainya. Sounds like Siti Nurbaya’s
Story ? yess...
Memang dalam perjalanannya selama 10 tahun terakhir
banyak terjadi masalah dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada)
secara langsung seperti konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat karena
calon pimpinan mereka gagal, mahalnya biaya yang harus negara sediakan untuk
proses ini, juga mahalnya biaya kampanye yang harus dikeluarkan oleh calon
pimpinan. Namun tak ada masalah yang tak ada jalan keluarnya, lets break this down... dalam kasus
timbulnya konflik yang terjadi di tengah masyarakat jika calon yang mereka
usung kalah, menurut saya itu adalah belum
dewasanya masyarakat dalam menyikapi kekalahan, dan justru proses pilkada
langsung adalah sarana untuk pendewasaan diri bagi masyarakat dalam kehidupan
berdemokrasi . Setelah puluhan tahun masyarakat terbiasa hanya menerima,
masyarakat pasti merasa kurang siap dengan sistem baru yang sebenarnya
berdampak baik untuk mereka. Adalah Tugas pemerintah untuk mengedukasi
masyarakat tentang kehidupan
berdemokrasi, tentang menerima kekalahan dan juga menghormati mandat
yang diberikan oleh rakyat, Soo.. don’t
hate the game, hate the player. Alasan besarnya anggaran yang keluar untuk
mengakomodir proses ini memang benar, namun hal itu bisa diatasi dengan sistem e-Voting misalnya. Kapan kita bisa mengadopsi
sistem tersebut ? memang butuh waktu yang panjang, karna sesungguhnya pun
sistem pemilihan secara langsung baru berumur 10 tahun, but i believe we’ll get there, u
may say i’m a dreamer but i’m not the only one..
Alasan kenapa
saya mendukung proses pemilihan secara langsung adalah karena masyarakat punya
kesempatan besar untuk menempatkan orang-orang terbaik untuk menjadi pemimpin
mereka. Kita punya akses langsung terhadap calon pemimpin, kita bisa tahu
bibit, bebet dan bobot-nya, tidak seperti Siti Nurbaya yang dipaksa menikah dengan
pria asing yang tak ia suka, Datuk Maringgih.
Pemimpin baik macam Jokowi, Ridwan Kamil (walikota
Bandung), Bima Arya (walikota Bogor) dan masih banyak lagi adalah produk dari
Pilkada langsung, kenapa mereka bisa terpilih ? karena mereka didukung oleh
para pemilik suara yang sudah tahu track
record mereka. Tahu kualitas dan kapabilitas mereka. Tidakkah kita
menginginkan lebih banyak lagi orang baik memimpin negeri ini ?. Memang banyak
juga pemimpin yang terpilih secara langsung memiliki kinerja yang buruk dan
bahkan terjerat korupsi, tapi tidak semua kan ? seperti yang saya bilang
diatas, yang salah itu orangnya, kalau pemimin tersebut punya integritas yang
tinggi pasti tidak akan mudah terjerat
korupsi, sekali lagi don’t hate the game,
hate the player.. Munculnya pemimpin daerah yang bermasalah menurut saya juga
karena lemahnya kepedulian masyrakat untuk mengenal calon pemimpinnya, dan
pilkada langsung adalah filter bagi masyarakat untuk menyaring siapa yang
terbaik, kita tidak bisa lagi acuh terhadap proses pemilihan kepala daerah dan
kepala negara. Jika masyarakat menginginkan perubahan ke arah yang lebih baik
lagi mereka harus berperan aktif dalam proses pemilihan kepala daerah.
Proses pemilihan lewat DPRD memang bisa juga
menghasilkan pemimpin baik, tapi persentase-nya bisa dibilang kecil karena ada
proses terselubung yang tidak rakyat ketahui, rakyat dipaksa menerima tanpa ada
kesempatan untuk mengetahui kualitas si pemimpin. Karena tidak pernah ada uji
publik terhadap calon kepala daerah. Semuanya dilakukan oleh DPRD, namun jika
dilakukan secara langsung masyarakat bisa mengetahui kualitas calon pimpinan. Sekali
lagi, alasan saya medukung pilkada langsung karena ingin berpartisipasi dalam
proses demokrasi di negeri ini, kita gak bisa lagi hanya menerima apa yang
telah diputuskan. Kita punya hak untuk ikut menentukan...
foto dari news.okezone.com







